RASIONALISME

Written By infosetia on Rabu, 20 April 2011 | Rabu, April 20, 2011

Oleh: Agus setiawan
filsafaatsecara singkat aliran ini menyatakan bahwa akal adalah dasar kepastian pengetahuan. Pengetahuan yang benar diperoleh dan  diukur dengan akal. Manusia, menurut aliran ini, memperoleh pengetahuan melalui kegiatan akal menangkap objek. Orang mengatakan (biasanya) bapak aliran ini ialah Rene Descartes (1596-1650); ini benar. Akan tetapi, sesungguhnya paham seperti ini sudah ada jauh sebelum itu. Orang-orang yunani kuno telah menyakini juga bahwa akal adalah alat dalam memperoleh pengetahuan yang benar lebih-lebih 
Aristoteles.[1]
DEFINISI  RASIONALISME
Rasionalisme adalah paham filsafat  yang mengatakan bahwa akal (reason) adalah alat terpenting dalam memperoleh pengetahuan dan mengetes pengetahuan.[2] Jika empirisme mengatakan bahwa pengetahuan diperoleh dengan alam mengalami objek empiris, maka rasionalisme mangajarkan bahwa pengetahuan diperoleh dengan cara berpikir. Alat dalam berpikir itu ialah kaidah-kaidah logis atau kaidah-kaidah logika.[3]
Rasionalisme juga merupakan aliran pemikiran yang berpendapat bahwa sumber pengetahuan yang mencukupi dan yang dapat dipercaya adalah rasio (akal). Hanya pengetahuan yang diperoleh melalui akallah yang memenuhi syarat yang dituntut oleh sifat umum dan yang perlu mutlak, yaitu syarat yang dipakai untuk semua pengetahuan ilmiah.[4]
Kalau dalam empirisme sumber utama untuk memperoleh pengetahuan adalah data empiris yang diperoleh dari panca indra.  Akal tidak berfungsi banyak, kalau ada, itu pun sebatas idea yang kabur. Lain halnya dengan rasionalisme, bahwasannya rasionalisme berpendirian sumber pengetahuan terletak pada akal. Betul, hal ini akal berhajat pada bantuan panca indera untuk memperoleh data dari alam nyata, tetapi akallah yang menghubungkan data ini satu sama lainnya, sehingga terdapatlah apa yang dinamakan pengetahuan.[5] Dalam penyusunan ini akal mempergunakan konsep-konsep rasional atau idea-idea universal. Konsep tersebut mempunyai wujud dalam alam nyata dan bersifat universal, yang dimaksud dengan prinsip-prinsip universal adalah abstraksi dari benda-benda konkrit, seperti hukum kausalitas atau gambaran umum tentang kursi. Sebaliknya, bagi empirisme hukum tersebut tidak diakui.[6]
Maka dari itu Aliran ini merupakan bantahan kuat atas aliran empirisme, yang menekankan pencerahan indrawi sebagai satu-satunya sumber pengetahuan. Bagi seorang rasionalis, pada hakikatnya berkata bahwa rasa (sense) itu sendiri tidak dapat memberikan kepada kita suatu pertimbangan yang koheren dan benar secara universal. Pengetahuan yang paling tinggi terdiri atas pertimbangan-pertimbangan yang benar, yang bersifat konsisten satu dengan lainnya. Rasa (sense) dan pengalaman yang kita peroleh dari indera penglihatan, pendengaran, suara, sentuhan, rasa dan bau hanya merupakan bahan baku untuk pengetahuan. Rasa tadi harus disusun oleh akal sehingga menjadi sistem, sebelum menjadi pengetahuan. Bagi seorang rasionalis, pengetahuan hanya terdapat dalam konsep, prinsip dan hukum, dan tidak dalam rasa.[7]
Dalam bentuknya yang kurang ekstrim, rasionalisme berpendirian bahwa manusia mempunyai kekuatan untuk mengetahui dengan pasti tentang beberapa hal yang mengenai alam. Sebagai contoh; jika A lebih besar daripada B, dan B lebih besar dari pada C, maka A lebih besar dari pada C. Kita mengetahui bahwa hal itu adalah benar tanpa melihat kepada contoh-contoh yang konkrit. Kita mengetahui bahwa kaidah tersebut dapat dipakai untuk peta-peta, kota-kota, bangsa-bangsa, walaupun kita tidak mengalaminya atau mencobanya. Diantara kebenaran-kebenaran yang pasti (necessary truth), yakni kebenaran yang tidak bersandar pada pengamatan, baik untuk mengetahuinya atau untuk mengkaji kebenarannya adalah ; 5+5=10. tiga sudut dalam segitiga adalah sama besarnya dengan dua sudut lurus.[8]
Plato memberikan gambaran klasik dari rasionalisme. Dalam sebuah dialog yang disebut Meno, dia berdalil, bahwa untuk mempelajari sesuatu, seseorang harus menemukan kebenaran yang sebelumnya belum diketahui. Tetapi, jika dia belum mengetahui kebenaran tersebut, bagaimana dia bisa mengenalinya? Plato menyatakan bahwa seseorang tidak dapat mengatakan apakah sesuatu pernyataan itu benar kecuali kalau dia sebelumnya sudah tahu bahwa itu benar. Kesimpulannya adalah bahwa manusia tidak mempelajari apapun; ia hanya “teringat apa yang dia ketahui”. Semua prinsip-prinsip dasar dan bersifat umum sebelumnya sudah ada dalam pikiran manusia. Pengalaman indera paling banyak hanya dapat merangsang ingatan dan membawa kesadaran terhadap pengetahuan yang selama itu sudah berada dalam pikiran.[9]
Dengan kata lain, pengalaman hanya dapat dipakai untuk meneguhkan pengetahuan yang didapat oleh akal. Akal dapat menurunkan kebenaran dari dirinya sendiri, yaitu atas dasar asas-asas pertama yang pasti. Metode yang diterapkan adalah deduktif, teladan yang dikemukakan adalah ilmu pasti. Filosofnya antara lain Rene Descartes, B. Spinoza, dan Leibniz.[10]
Rasionalisme ada dua macam: dalam bidang agama dan dalam bidang filsafat. Dalam bidang agama rasionalisme adalah lawan dari otoritas; dalam bidang filsafat rasionalisme adalah lawan empirisme.[11]
Rasionalisme dalam bidang agama biasanya digunakan untuk mengkritik ajaran agama, rasionalisme dalam bidang filsafat terutama berguna sebagai teori pengetahuan. Sebagai lawan empirisme, rasionalisme berpendapat bahwa sebagian dan bagian penting pengetahuan datang dari penemuan akal. Contoh yang paling jelas ialah pemahaman kita tentang logika dan matematika.[12]
Penemuan-penemuan logika dan matematika begitu pasti. Kita tidak hanya melihatnya sebagai benar, tetapi lebih dari itu kita melihatnya sebagai kebenaran yang tidak mungkin salah, kebenarannya universal.
Sejarah rasionalisme sudah tua sekali. Thales telah menerapkan rasionalisme dalam filsafatnya. Ini dilanjutkan dengan jelas sekali pada orang-orang sofis dan tokoh-tokoh penentangnya (socrates, plato, aristoteles), dan juga beberapa tokoh sesudah itu.[13] Pada zaman modern filsafat, tokoh pertama rasionalisme ialah Descartes yang akan dibahas setelah ini, bersamaan dengan itu akan dibicarakan juga tokoh besar rasionalisme lainnya, yaitu Baruch Spinoza dan Leibniz. Setelah periode ini rasionalisme dikembangakn secara sempurna oleh Hegel yang kemudian terkenal sebagai tokoh rasionalisme dalam sejarah.
TOKOH-TOKOH RASIONALISME  DI ZAMAN MODERN
  1. Descartes (1596-1650)
Descartes lahir pada tahun 1596 dan meninggal pada tahun 1650. bukunya yang terpenting di dalam filsafat murni ialah discours de la methode (1637) dan meditations (1642). Kedua buku ini saling melengkapi satu sama lain. Di dalam kedua buku inilah ia menuangkan metodenya yang terkenal itu, metode keraguan Descartes (Cartesian Doubt). Metode ini sering juga disebut cotigo Descartes, atau metode Cogito saja.[14]
Menurut catatan, Descartes adalah orang inggris. Ayahnya anggota parlemen inggris. Pada tahun 1612 Descartes pergi ke prancis. Ia taat mengerjakan ibadah menurut ajaran agama katholik, tetapi ia juga menganut Galileo yang pada waktu itu masih ditentang oleh tokoh-tokoh Gereja. Dari tahun 1629 sampai tahun 1649 ia menetap di belanda.[15]
Descartes lebih diperhatikan karena ada keistimewaan padanya; yaitu keberaniannya melepaskan diri dari kerangkeng yang mengurung filosof abad pertengahan. Zaman modern dalam sejarah filsafat biasanya dimulai oleh filsafat Descartes. Tentu saja pernyataan ini bermaksud menyederhanakan permasalahan. Kata modern di sini hanya digunakan untuk menunjukkan suatu filsafat yang mempunyai corak yang amat berbeda, bahkan berlawanan, dengan corak filsafat pada abad pertengahan kristen. Corak utama filsafat modern yang  dimaksud di sini ialah dianutnya kembali rasionalisme seperti pada masa yunani kuno. Gagasan itu, disertai oleh argumen yang kuat, diajukan oleh Descartes. Oleh karena itu, gerakan pemikiran Descartes sering juga disebut bercorak renaissance. Apa yang lahir kembali itu? Ya, rasionalisme yunani itu.
Descartes dianggap sebagai bapak Filsafat modern. Menurut Bertrand Russel, anggapan itu memang benar. Kata “Bapak” diberikan kepada Descartes karena dialah orang pertama pada zaman modern itu yang membangun filsafat yang berdiri atas keyakinan diri sendiri yang dihasilkan oleh pengetahuan akliah. Dialah orang pertama di akhir abad pertengahan itu yang menyusun argumentasi yang kuat, yang Distinct, yang menyimpulkan bahwa dasar filsafat haruslah akal, bukan perasaan, bukan iman, bukan ayat suci, bukan yang lainnya.[16]
Pengaruh keimanan yang begitu kuat pada abad pertengahan, yang tergambar dalam ungkapan credo ut intelligam itu, telah membuat para pemikir takut mengemukakan pemikiran yang berbeda dengan pendapat tokoh gereja. Apakah ada filosof yang mampu dan berani menyelamatkan filsafat yang dicengkeram oleh iman abad pertengahan itu? Ada, Tokoh itu adalah Decartes.
Descartes telah lama merasa tidak puas terhadap perkembangan filsafat yang amat lamban dan banyak memakan korban itu. Amat lamban terutama bila dibandingkan dengan perkembangan filsafat pada zaman sebelumnya. Ia melihat tokoh-tokoh gereja yang mengatasnamakan agama telah menyebabkan lambannya perkembangan itu. Ia ingin filsafat dilepaskan dari dominasi agama kristen. Ia ingin filsafat dikembalikan kepada semangat filsafat yunani, yaitu filsafat yang berbasis pada akal. Ia ingin menghidupkan kembali rasionalisme yunani.[17]
Ia mengetahui bahwa tidak mudah meyakinkan tokoh-tokoh gereja bahwa dasar filsafat haruslah rasio (akal). Tokoh-tokoh gereja waktu itu tetap yakin bahwa dasar filsafat haruslah iman sebagaimana tersirat di dalam jargon credo ut intelligam dari Anselmus itu. Untuk meyakinkan orang bahwa dasar filsafat haruslah akal, ia menyusun argumentasi yang amat terkenal. Argumentasi itu tertuang di dalam metode cogito tersebut.
Untuk menemukan basis yang kuat bagi filsafat, Descartes meragukan (lebih dahulu) segala sesuatu yang dapat diragukan. Mula-mula ia mencoba meragukan semua yang dapat diindera, objek yang sebenarnya tidak mungkin diragukan. Inilah langkah pertama metode cogito tersebut. Dia meragukan adanya badannya sendiri. Keraguan itu menjadi mungkin karena pada pengalaman mimpi, halusinasi, ilusi, dan juga pada pengalaman dengan roh halus ada yang sebenarnya itu tidak jelas. Pada keempat keadaan itu seseorang dapat mengalami sesuatu seolah-olah seseorang mengalami sesuatu yang sungguh-sungguh terjadi, persis seperti tidak mimpi (jaga). Begitu pula pada pengalaman halusinasi, ilusi, dan kenyataan ghaib. Tidak ada batas yang tegas antara mimpi dan jaga. Oleh karena itu, Descartes berkata,”aku dapat meragukan bahwa aku duduk di sini dalam pakaian siap untuk pergi keluar; ya, aku dapat meragukan itu karena kadang-kadang aku bermimpi persis seperti itu, padahal aku ada di tempat tidur, sedang bermimpi.” Tidak ada batas yang tegas antara mimpi (sedang mimpi ) dan jaga. Tatkala bermimpi, rasa-rasanya seperti bukan mimpi. Siapa yang dapat menjamin kejadian-kejadian waktu jaga (yang kita katakan sebagai jaga ini) sebagaimana kita alami adalah kejadian-kejadian yang sebenarnya, jadi bukan mimpi? Tidak ada perbedaan yang jelas antara mimpi dan jaga; demikian yang dimaksud oleh Descartes.[18]
Benda-benda dalam halusinasi dan ilusi juga membawa kita kepada pertanyaan: yang manakah sesungguhnya yang benar-benar ada, yang sungguh-sungguh asli? Benda-benda dalam mimpi, halusinasi, ilusi, dan kejadian dengan roh halus itu, bila dilihat dari posisi kita sedang jaga, itu tidak ada. Akan tetapi, benda-benda itu sungguh-sungguh ada bila dilihat dari posisi kita dalam mimpi, halusinasi, ilusi, dan roh halus. Dalam mimpi kuta melihat dan mengalami benda-benda itu; dalam mimpi benda-benda itu sungguh-sungguh ada. Sekali lagi: adakah benda yang tegas antara mimpi dan jaga? Begitulah jalan pikiran dalam metode cogito.
Pada langkah pertama ini Descartes dapat (berhasil) meragukan semua benda yang dapat diindera. Apa sekarang yang dapat dipercaya, yang sungguh-sungguh ada? Menurut Descartes, dalam keempat keadaan itu (mimpi, halusinasi, ilusi, roh halus), juga dalam jaga, ada sesuatu yang selalu muncul. Ada sesuatu yang muncul, baik dalam jaga maupun dalam mimpi. Yang selalu muncul itu ialah gerak, jumlah, dan besaran (volume). Pada tahap kedua ini Descartes mengajak kita berpendapat bahwa yang tiga inilah yang lebih ada daripada benda-benda. Ketiga macam ini lebih meyakinkan adanya. Mungkin ketiga inilah yang benar-benar ada.[19]
Betulkah yang tiga ini (gerak, jumlah, besaran) benar-benar ada? Lalu Descartes mengujinya. Kemudian ia pun meragukanya. Yang tiga macam itu adalah matematika. Kata Descartes, matematika dapat salah. Saya sering salah menjumlah (angka), salah mengukur (besaran), juga demikian pada gerak. Jadi, ilmu pasti pun masih dapat saya ragukan. Ilmu pasti lebih pasti dari pada benda, tetapi saya masih dapat meragukannya. Jadi, benda dan ilmu pasti diragukan. Kalu begitu, apa sekarang yang pasti itu, yang dapat kujadikan dasar bagi filsafatku? Aku ingin yang pasti, yang distinct.
Sampailah ia sekarang kepada langkah ketiga dalam metode  cogito. Masih ada satu yang tidak dapat kuragukan, demikian katanya, bahkan tidak satu setan yang licik pun dapat mengganggu aku, tak seorang skeptis pun mampu meragukannya, yaitu saya sedang ragu. Jelas sekali, saya sedang ragu. Tidak dapat diragukan bahwa saya sedang ragu. Begitu distinct saya sedang ragu. Boleh saja badan saya ini saya ragukan adanya, hanya bayangan, misalnya, atau  hanya seperti dalam mimpi, tetapi mengenai “saya sedang ragu” benar-benar tidak dapat diragukan adanya.[20]
Aku yang sedang ragu itu disebabkan oleh aku berpikir. Kalau begitu, aku berpikir pasti ada dan benar. Jika aku berpikir ada, berarti aku ada sebab yang berpikir itu aku. Cogito ergo sum, aku berpikir, jadi aku ada. Tahapan metode Descartes itu dapat diringkaskan sebagai berikut:















Benda inderawi tidak ada

Gerak, jumlah, besaran(ilmu pasti) tida ada





































Sekarang Descartes telah menemukan dasar (basis) bagi filsafatnya. Basis itu bukan filsafat Plato, bukan filsafat abad pertengahan, bukan agama atau yang lainnya. Fondasi itu ialah aku yang berpikir. Pemikiranku itulah yang pantas dijadikan dasar filsafat karena aku yang berpikir itulah yang benar-benar ada, tidak diragukan, bukan kamu atau pikiranmu. Di sini kelihatanlah sifat subjektif, individualistis, humanis dalam filsafat Descartes.[21] Sifat-sifat inilah yang nantinya, yang mendorong perkembangan filsafat pada abad modern.
  1. Spinoza (1632-1677)
Spinoza dilahirkan pada tahun 1632 dan meninggal dunia pada tahun 1677. nama aslinya Baruch Spinoza. Setelah ia mengucilkan diri dari agama yahudi, ia mengubah namanya menjadi Benedictus de Spinoza. Ia hidup di pinggiran kota Amsterdam (solomon, 1981:71)
Menurut Solomon (1981:71), caara terbaik mempelajari metafisika modern ialah mempelajari karya-karya metafisika para filosof. Mempelajarinya jangan terpisah-pisah, misalnya kosmologi lebih dahulu, kemudian ontologi. Cara seperti ini akan menyulitkan kita mengetahui hubungan perekat dalam sistem filosof tersebut. Untuk pengantar mempelajari metafisika modern, solomon menganjurkan mempelajari lebih dulu metafisika pada abad ke-17. Filosofnya ialah Spinoza, dan yang kedua ialah Leibniz (1646-1716
). Filosof kedua ini adalah filosof jerman modern terbesar yang pertama.[22]
Metafisika modern biasanya dikatakan dimulai oleh Descartes (1596-1650). Metodenya untuk sampai kepada kepastian sempurna lewat deduksi metematis, sah untuk diterima (solomon: 71). Akan tetapi, halnya tidak sesederhana itu. Metafisika mempunyai jalur yang panjang sejak yunani, melintasi abad pertengahan, barulah kepada Descartes. Oleh karena itu, kita tidak usah heran menemukan bahwa konsep sentral dalam metafisika Descartes adalah substansi dan definisi, yang sesungguhnya sudah ada pada Aristoteles. Sebagaimana Aristoteles, ia pun berpendapat bahwa sesuatu untuk ada tidak memerlukan yang lain (bila adanya karena yang lain, berarti substansinya kurang meyakinkan). Nah, baik Spinoza maupun Leibniz ternyata mengikuti pemikiran Descartes itu. Dua tokoh terakhir ini juga menjadikan substansi sebagai tema pokok dalam metafisika mereka, dan mereka berdua juga mengikuti metode Descartes. Tiga filosof ini, Descartes, Spinoza, dan Leibniz, biasanya dikelompokkan ke dalam satu mazhab, yaitu rasionalisme.[23]
  1. Leibniz (1646-1716)
Gotifried Wilhelm von Leibniz lahir pada tahun 1646 dan meninggal pada tahun 1716. ia filosof jerman, matematikawan, fisikawan, dan sejarahwan. Lama menjadi pegawai pemerintah, menjadi atase, pembantu pejabat tinggi negara. Pusat metafisikanya adalah idea tentang substansi yang dikembangkan dalam konsep monad.
Leibniz lahir di Leipzig jerman. Sekolah di Nicolai di Leipzig. Bapaknya adalah seorang guru filsafat etika di Universitas Leipzig.[24] Ia menguasai banyak bahasa dan banyak bidang pengetahuan. Pada usia 15 tahun ia sudah menjadi mahasiswa universitas Leipzig, mempelajari hukum, tetapi ia juga mengikuti kuliah matematika dan filsafat. Pada tahun 1666, tatkala ia belum berumur 21, ia menerima ijazah doktor dari universitas Altdorf, dekat Nuremberg, dengan disertasi berjudul De casibus perplexis (on complex cases at law). Universitasnya sendiri menolak mengakui gelar doktornya itu karena umurnya terlalu muda, makanya ia meninggalkan Leipzig pindah ke Nuremberg.
Pada januari-maret 1673 Leibniz pergi ke london menjadi atase politik. Di sana ia dapat bertemu dengan banyak ilmuwan seperti Robert Boyle. Tahun 1675 ia menetap di Hannover, dari sana ia jalan-jalan ke london dan Amsterdam. Di Amsterdam ia bertemu dengan Spinoza.
Metafisika Leibniz sama memusatkan perhatian pada substansi. Bagi Spinoza, alam semesta ini mekanistis dan keseluruhannya bergantung pada sebab, sementara substansi pada Leibniz adalah hidup, dan setiap sesuatu terjadi untuk suatu tujuan. Penuntun prinsip filsafat Leibniz ialah “prinsip akal yang mencukupi”, yang secara sederhana dapat dirumuskan “sesuatu harus mempunyain alasan”. Bahkan Tuhan juga harus mempunyai alasan untuk setiap yang diciptakan-Nya. Kita lihat bahwa prinsip ini menuntun filsafat Leibniz.
Sementara Spinoza berpendapat bahwa hanya ada satu substansi, Leibniz berpendapat bahwa substansi itu banyak. Ia menyebut substansi-substansi itu monad. Setiap monad berbeda satu dengan yang lain, dan Tuhan (sesuatu yang supermonad dan satu-satunya monad yang tidak dicipta) adalah pencipta monad-monad itu. Maka karya Leibniz tentang ini diberi judul monadology(studi tentang monad) yang ditulisnya 1714.[25]
Reference:
1 Prof. Dr. Ahmad Tafsir, Filsafat Umum,Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2004
1 Drs. Surojiyo, Ilmu Filsafat, Suatu Pengantar (Jakarta: PT. Bumi Aksara, 2005)
1 Dr. Amsal Bakhtiar, MA, Filsafat Agama, Jakarta, logos wacana ilmu, cet. II, 1999
1 Djaelani, Abdul Qodir, Sekitar Pemikiran Politik Islam (Jakarta: Media Da’wah, 1994
1 Dr. Ismail Asy-Syarafa, ensiklopedia filsafat, jakarta: Khalifa, cet. I, 2005
Wallahu A’lam Bishawab”

[1] Prof. Dr. Ahmad Tafsir, Filsafat Umum,Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2004, hal. 25
[2] Ibid, hal. 127
[3] Ibid
[4] Drs. Surojiyo, Ilmu Filsafat, Suatu Pengantar (Jakarta: PT. Bumi Aksara, 2005) hal. 66
[5] Dr. Amsal Bakhtiar, MA, Filsafat Agama, Jakarta, logos wacana ilmu, cet. II, 1999, hal. 45
[6] Ibid
[7] Djaelani, Abdul Qodir, Sekitar Pemikiran Politik Islam (Jakarta: Media Da’wah, 1994) hal. 13-14
[8] Ibid, hal. 14
[9] Suriasumantri, Jujun S., Ilmu Dalam Prespektif (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1999) hal. 99
[10] Drs. Surajiyo, loc. Cit, hal. 66
[11] Ibid, Prof. Dr. Ahmad Tafsir, hal. 127
[12] Ibid
[13] Ibid, hal. 128
[14] Ibid, hal. 129
[15] Ibid, hal. 128
[16] Ibid
[17] Ibid, hal. 129
[18] Ibid, hal. 130
[19] Ibid, hal. 131
[20] Ibid, hal. 131
[21] Ibid, hal. 132
[22] Ibid, hal. 133
[23] Ibid, hal. 134
[24] Dr. Ismail Asy-Syarafa, ensiklopedia filsafat, jakarta: Khalifa, cet. I, 2005, hal. 167
[25] Ibid, Prof. Dr. Ahmad Tafsir, hal. 139

Tidak ada komentar:

Posting Komentar